Mengkaji Sub Tema MPP – XXX AMGPM bersama Pdt. DR. S. Gaspersz

Pdt. DR. S. Gaspersz

Obi – Membuka seluruh percakapan MPP ke – 30, forum MPP bergumul dalam kajian Sub Tema MPP : Bersama-sama Mengadvokasi Hak Hidup dan Alam untuk Hidup Berkelanjutan yang Semakin Bermutu. guna mencapai kesepahaman, forum MPP tahun ini melakukan diskusi bersama Pdt. Dr. S. Gaspersz. Berikut rangkuman penjelasan Sub Tema untuk mengarahkan fokus gumulan AMGPM di tahun ini.

 

Pengantar

  • Pembangunan telah menjadi kata kunci dalam dinamika sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di Indonesia terutama sejak Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 sebagai satu negara-bangsa yang merdeka, otonom dan berdaulat atas nasib dan masa depannya sendiri. Dalam konteks itu, pembangunan – dalam arti yang luas dan eksistensial – mesti dibedakan dari orientasi dan prosesnya sebagaimana itu diimplementasikan pada masa-masa pra-kemerdekaan (periode kolonialisasi, pergerakan kemerdekaan dan transisi pada era awal pasca-kemerdekaan).
  • Selama 32 tahun pemerintahan Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, kata “pembangunan” telah menjadi mantra sakti dalam semua bidang kehidupan masyarakat Indonesia. Seluruh orientasi dan praksis sosial-politik-ekonomi-budaya sungguh-sungguh dikerahkan untuk mengawal apa yang dikenal sebagai pembangunan nasional. Indikator pembangunan dengan sangat jelas diarahkan pada pertumbuhan ekonomi nasional, pengembangan industrialisasi dan paradigma pembangunan terkontrol dengan otoritas utama pada poros “pusat” (Jakarta). Dengan prinsip “tetesan ke bawah” (trickle down effect), pengelolaan sumber daya finansial terserap sepenuhnya ke pusat (Jakarta), kemudian melalui tahapan pembangunan (repelita) sumber daya finansial tersebut “disalurkan” ke lingkar-lingkar wilayah pinggiran (periferi). Pola pembangunan semacam ini telah terbukti menciptakan mentalitas ketergantungan yang sangat tinggi dari “periferi” pada “pusat”. Grafik pertumbuhan ekonomi seolah-olah tampak meroket – apalagi ditunjang oleh stabilitas keamanan nasional melalui security approach. Namun, pada sebelah lain, paradigma pembangunan Orde Baru meninggalkan berbagai ekses pembangunan yang masih menjadi hambatan besar hingga saat ini, terutama dalam reformasi hukum, birokrasi dan politik.
  • Kepemimpinan nasional pasca Suharto, telah memperlihatkan perubahan-perubahan fundamental dan paradigmatik dalam pendekatan pembangunan nasional. Kabinet Presiden Joko Widodo tampaknya tampil sebagai poros kepemimpinan yang lebih luwes dan sigap karena secara personal Jokowi berasal dari luar lingkar kekuasaan “dinasti” atau “kroni” politik, yang sejak lengsernya Suharto masih menggelayut kaki-tangan figur-figur tertentu. Itulah yang membuat ruang gerak dan mekanisme pengawasan pembangunan menjadi lebih progresif dan terukur melalui program-program pembangunan yang tidak lagi terpusat pada poros Jakarta, tetapi mampu membuat terobosan-terobosan baru terutama pada kawasan-kawasan periferi yang selama puluhan tahun tidak tersentuh program-program pembangunan yang lebih eksistensial dan fundamental.
  • Namun demikian, persoalan-persoalan utama secara internal yang masih menggantung dalam gerak pembangunan saat ini adalah pada mentalitas birokrasi (sipil maupun militer) dan aspek pemberdayaan sosio-budaya, terutama dalam penanganan masalah-masalah pembangunan yang lebih struktural, entah sebagai warisan paradigma lama pembangunan maupun sebagai tantangan-tantangan baru hasil dari makin terbukanya akses komunikasi, pengembangan fasilitas transportasi yang mendukung terjadinya gelombang migrasi antarpulau di Indonesia dan pembangunan infrastruktur seiring dengan penetapan kabupaten/kota baru. Pembangunan infrastruktur terutama pada kawasan-kawasan periferi yang selama puluhan tahun diabaikan, kini mengalami progresivitas yang signifikan karena didasarkan pada pendekatan kebutuhan masyarakat, bukan pada kemauan para elite di Jakarta. Akan tetapi, harus pula disadari bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang belum dibereskan pada tataran pembangunan kebudayaan dan kesejahteraan yang berkeadilan, pembelaan terhadap hak-hak sipil warga negara yang dimarjinalisasi dan proses pemberdayaan manusia/masyarakat berbasis pada kearifan lokal masing-masing. Semuanya itu sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dinamika pembangunan yang lebih eksistensial, bukan sekadar instrumental.
  • Selain itu, konteks global selalu menunjukkan paradoks dalam sejarah, yakni pada satu sisi upaya keadilan dan perdamaian yang tiada henti. Namun sisi yang lain memperlihatkan fakta dominasi dan marjinalisasi yang berwajah ganda. Hal-hal ini dianggap hanya bisa direspon dengan perhitungan-perhitungan makro yang karenanya pelibatan masyarakat setempat sebagai subyek yang menentukan masih bukan menjadi pilihan strategi, malah sebagai kendala dalam paradigma percepatan pembangunan.
  • Dalam konteks itu, Gereja Protestan Maluku menjadi komponen masyarakat yang memiliki prinsip-prinsip tertentu yang mempengaruhi responnya. Pilihan kontekstual menjadi bawaannya dengan konsekuensi, risiko dan kekuatannya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sepanjang sejarahnya GPM turut memberikan kontribusi dalam pembangunan kebudayaan, kesejahteraan sosial dan spiritualitas keagamaan di wilayah Maluku, selain ada juga kritik terhadap sikap GPM berhubungan dengan berbagai kondisi itu dari berbagai kalangan.

 

Pengembangan Pemahaman

Dalam memahami subtema tahunan “Bersama-sama Mengadvokasi Hak Hidup dan Alam untuk Hidup Berkelanjutan yang Semakin Bermutu”, beberapa hal yang perlu dicerna adalah:

  • Bersama-samaInklusivitas tidak serta merta mencairkan semua hal karena hakikat kebersamaan terdapat pada pengakuan dan tindakan timbal balik. Oleh karena itu, kontur kebersamaan terletak pada proses pengelolaannya sampai pada hasilnya yang memerlukan waktu dan energi. Terdapat juga kelompok-kelompok yang sulit keluar dari eksklusivitasnya, hal yang tidak aneh, karena kita pernah memiliki pengalaman seperti itu.
  • Subtema ini menekankan sebuah gerakan bersama dengan soliditas dan solidaritas. Sinergi ini dianggap penting oleh karena pemahaman yang kuat akan kondisi bergereja sebagai sebuah persekutuan yang besar pada dirinya, namun juga pemaknaan diri sebagai gereja yang berada bersama-sama dengan saudara yang lainnya, maupun yang sudah dianggap oleh saudara yang lainnya sebagai bagian dari diri mereka. Dengan kata lain, sebuah komunitas yang dengan sadar mengolah serta menguji kesadaranya dalam pengalaman-pengalaman bermakna untuk meninggalkan eksklusivitasnya dan berdiri di atas inklusivitas.
  • MengadvokasiDalam kerangka advokasi itu pula, ranah civil society menjadi pilihan identitas lain dari faith – based organization seperti komunitas gereja. Berhubungan dengan itu, panggilan advokasi adalah panggilan bersekutu dengan komunitas pembela masyarakat yang lain, maupun membuat jembatan dengan yang tidak se-visi. Kemungkinan besar, jalan ditempuh adalah jalan yang penuh tantangan dan ancaman. Sewaktu-waktu sampai membuat pelaku advokasi menjadi diam (silenced). Tantangan dan ancaman itu bahkan bisa sekali datang dari pihak-pihak yang sebenarnya pada waktu tententu seharusnya menjadi pembela, namun pada pihak lain bisa mengancam, antara lain aktor negara, actor bukan negara, pebisnis yang tidak bermoral (unscrupulous businesses), dan kaum fundamentalis.
  • Panggilan advokasi pelibatan diri dan komunitas dalam serangkaian tindakan sosial yang multidimensi, baik dalam kerangka melakukan ajaran gereja (pada level yang minimal), sebuah perjalanan spiritual, mewujudkan sebuah komunitas iman yang otentik dan pada level yang tinggi adalah dalam kerangka transformasi sosial. Pada titik ini, komunitas gereja tidak lagi berada pada inner border, tidak juga hanya berada pada dialectical border, namun telah memproses dua model ini pada border crossing model. [1] Hal ini diproses atau terbangunnya kesadaran bahwa hidup secara intensif dalam komunitas iman, selain hal-hal yang positif, ternyata juga telah membangun batas-batas (eksklusif), yang dalam kerangka panggilan advokasi ini, perlu ditinjau secara sadar pula. Panggilan advokasi menolak untuk membiarkan seluruh kekuatan yang dibangun dalam komunitas gereja hanya demi penataan gereja atau melanjutkan tradisi bergereja. Selayaknya terdapat fungsi ganda yang tidak saling meniadakan. Advokasi memberi nilai dan makna bagi akta bergereja dan bermasyarakat yang lain, sementara itu akta yang lain itu selayaknya memiliki tindakan advokasi di dalamnya atau menyertainya.
  • Hak Hidup dan Hak AlamHak alam pun demikian. Terdapat hak alamiahnya, namun secara dominan dikonstruksi oleh manusia. Oleh karena itu, hak hidup manusia dan alam serupa dalam proses mengusahakannya dalam pengertian perlu bergelut dengan kompleksitas pandangan dan kepentingan manusia.
  • Hak hidup adalah kebutuhan hidup manusia yang eksistensial. PBB mendefinisikannya sebagai “hak-hak yang inheren dalam keberadaan alamiah, yang tanpanya kita tidak bisa hidup sebagai manusia.” Dalam sejarah, ada dan tiadanya hak, kualitas hak dan rentang pemenuhannya dikonstruksi secara sosial, politis, ekonomi, ekologis dan agama. Oleh karena itu secara demikian pula perlu tindakan dekonstruksi dan rekonstruksi.
  • Hidup Berkelanjutan yang Semakin Bermutu. Hidup yang berkelanjutan adalah model pengembangan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Diharapkan pula bahwa mutu terhadap kebutuhan semakin meningkat. PBB mencanangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs) yang bermuatan 17 butir sbb.:
  1. Tanpa kemiskinan (no poverty)
  2. Tanpa kelaparan (zero hunger)
  3. Kesehatan yang baik dan kesejahteraan (good health and well-being)
  4. Pendidikan berkualitas (quality education)
  5. Kesetaraan gender (gender equality)
  6. Air bersih dan sanitasi (clean water and sanitation)
  7. Energi bersih dan terjangkau (affordable and clean energy)
  8. Pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak (decent work and economic growth)
  9. Industry, inovasi dan infrastruktur (industry, innovation and infrastructure)
  10. Mengurangi kesenjangan (reduced inequalities)
  11. Keberlanjutan kota dan komunitas (sustainable cities and communities)
  12. Konsumsi dan produksi bertanggung jawab (responsible consumption and production)
  13. Aksi terhadap iklim (climate action)
  14. Kehidupan bawah laut (life below water)
  15. Kehidupan di darat (life on land)
  16. Institusi peradilan yang kuat dan kedamaian (peace, justice and strong institutions)
  17. Kemitraan untuk mencapai tujuan (partnership for the goals)

Agenda-agenda yang memang hanya akan tercapai dalam cara pandang berkelanjutan. Dengan kata lain, tidak bisa dimaknai secara penuh dalam pandangan dan kerangka kerja yang sekaligus dan sekali jadi. Ia hanya bisa mampak sebagai panggilan peradaban jika lahir dari kandungan kebudayaan manusia, bukan hasil promosi dan teknologi semata.

Oleh karena itu, sub tema ini merupakan sebuah misi suci yang pasti tidak bermaksud hanya dilakukan atau mencapai hasilnya dalam satu tahunan. Setiap kata dalam sub tema ini mengandung proses yang membutuhkan konsistensi, komitmen dan companiment yang berkelanjutan.

Urgensi

Panggilan ini menjadi urgen oleh karena alasan terhadap panggilan itu sementara berkelanjutan, berada di antara keseharian kehidupan kita, secara masif maupun gradual mengakibatkan tereduksinya atau bahkan putusnya kehidupan itu sendiri. Dapat kita catat berbagai kasus kekerasan, perampasan hak tanah dan laut, ekploitasi secara illegal, dominasi dan penaklukkan, peminggiran masyarakat, pemiskinan, sehingga masyarakat terhalang partisipasi dan kontrolnya, kondisi ekonomi yang memasuki persaingan bebas, tidak bebas dari kekerasan, mengalami migrasi secara paksa, dll.

Baik korban maupun pelaku, berada dalam masyarakat kita sendiri. Para aktivis yang telah lama berjuang berada di dalam gereja dan masyarakat kita sendiri. Lahan dan lingkungan yang tereksploitasi secara tidak adil adalah lahan dan lingkungan kita sendiri. Bahwa konteks yang kita hidupi menjadi konteks rentan, bukan hanya oleh ketidaktahuan melainkan juga (justru) oleh pengetahuan yang tinggi.

Sementara itu secara internal terdapat kecenderungan dalam komunitas GPM yang berhubungan langsung dan tidak langsung a.l.:

  • Sekalipun telah membangun satu sistem bergereja yang diharapkan sinkron, tidaklah berarti bahwa pada setiap lapisan itu terdapat respons yang sinergis terhadap kondisi aktual yang terjadi.
  • Gerak warga gereja terkotak-kotak oleh identitas lain yang dimilikinya dalam kehidupan sosial: identitas birokrat, pelaku bisnis, militer, sipil, dll. Hal itu tentu tidak dapat dilihat oleh gereja dalam pola relasi patron-klien.
  • Pengaruh berbagai perkembangan dalam masyarakat sangat besar dan karena itu banyak di dalam komunitas gereja sendiri terdapat begitu banyak orang yang telah menjadi korban, penyintas dan penyaksi dalam perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat (tidak ada bedanya dengan anggota masyarakat lainnya).
  • Orientasi penataan gereja begitu tinggi, hal mana membutuhkan komunikasi dan pengorganisasian yang cepat. Hal itu tidak akan menjadi masalah andaikan tidak mengakibatkan kekurangan energi pada upaya advokasi yang membutuhkan kesiapan berhadapan dengan ancaman dari pihak (actor) yang kuat.
  • Soliditas dalam gerakan bersama masih terus berproses dan hal inipun perlu ditelisik dengan memperhatikan spiritualitas yang diakibatkan oleh sistem bergereja sendiri. Bahwa pola pengorganisasian mengandung spiritualitasnya sendiri yang mempengaruhi pola relasi ke dalam maupun keluar.
  • Pendidikan anak-anak, pemuda dan warga dewasa masih perlu mendapat perhatian yang lebih besar.

Hal-hal lainnya dapat kita identifikasi selanjutnya.

  • Rekomendasi

Haluan advokasi akan membantu gereja memikirkan ulang banyak hal di dalam praksis bergereja. Beberapa hal yang dapat dipikirkan adalah sbb:

  • Pendidikan Politik dan Teologi Politik yang diarahkan lebih kepada menunjung panggilan advokasi ini. Diharapkan bahwa pengembangan orientasi ini akan memberi alternatif partisipasi politik yang mengandalkan moralitas dan aspek edukasi. Pemberdayaan mewujud dalam aktivitas-aktivitas yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan daya, kapasitas personal, interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga dan masyarakat mampu mengambil tindakan untuk memperbaiki berbagai situasi yang mempengaruhi kehidupannya. Sebagai hasil, pemberdayaan merujuk pada tercapainya suatu keadaan berdaya atau kuat yang meliputi: [1] tahap konsientisasi (penyadaran) akan kehidupan semesta sebagai nilai yang penting; [2] pengelolaan kekuasaan secara proporsional dan etis yang dihasilkan dari modifikasi struktur sosial
  • Sementara itu, teologi politik gereja pun diletakkan pada keseimbangan antara kesadaran pada konfesi dan kemauan untuk menunaikan tanggung jawab advokasi yang bertindih dengan ranah politik ini.
  • Aktivitas advokasi yang telah dilakukan oleh person, kelompok maupun terintegrasi dalam tatanan pelayanan gereja harus benar-benar dilihat sebagai kekuatan komunitas secara keseluruhan. Implikasinya adalah hal itu diletakkan dalam pemahaman yang holistik, yang berkaitan dengan panggilan persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Aktivitas advokasi menjadi haluan panggilan gereja. Gereja tidak lagi terkungkung dalam ranah mempertahankan diri dan membela imannya, melainkan gereja yang mengimani panggilan pembelaannya (advokasinya) sebagai tiang pancang keberadaannya.
  • Dalam kerangka itu, pengembangan pendidikan di dalam gereja, dalam pengertian luas, dimotivasi oleh hal ini. Anak-anak, pemuda maupun orang dewasa dimotivasi oleh belajar dengan serius oleh karena panggilan advokasi bagi hidup yang berkelanjutan. Pendidikan menginspirasi, memotivasi dan mendorong transformasi mantara lain dengan sarana spiritualitas kristiani yang konkret guna menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan di Maluku dan Indonesia. Spiritualitas kristiani tersebut tidak semata-mata berkaitan dengan penguatan iman akan kasih dan karya Allah secara individual. Kita menghayati dan bergerak pada dimensi spiritualitas kristiani yang realistik, humanistik, aktif-kreatif dan pro-kehidupan. Pendidikan berorientasi pada advokasi dapat menjadi pilar-pilar dimensi spiritualitas kristiani yang melakukan advokasi terhadap eksistensi kemanusiaan, keadilan sosial, relasi positif antarmanusia, serta manusia dan lingkungan hidup (udara, darat, laut).
  • Secara khusus, pendekatan membaca teks keagamaan (PL dan PB) dipertimbangkan untuk memakai pendekatan advokasi dan tidak semata apologetik.
  • Penataan organisasi gereja dan pengembangan pelayanan yang tidak melihat umat dalam hubungan dengan tanggung jawabnya terhadap gereja, melainkan melihat gereja dalam tanggung jawabnya memenuhi hak hidup umat dan alam.

Konsep advokasi di sini dipahami dalam arti luas sebagai tindakan membela (to defend), memajukan (to promote), menciptakan (to create) dan mengubah (to change). Dengan pemaknaan tersebut maka advokasi GPM hendak lebih diarahkan secara visioner dan programatik preferential option for sustainability,  pergeseran dari tindakan preferential option for the poor kepada preferential option with the poor. Dengan demikian, secara jelas dan tegas GPM memposisikan keberpihakannya untuk membangun kemanusiaan bersama-sama dalam relasi subjek-subjek, bukan subjek-objek. Di situ gerak bersama membangun kemanusiaan berjalan sebagai panggilan teologis dan kebudayaan yang berkelanjutan (sustainable).

Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19).