Watui – 6 September adalah sejarah besar bagi jemaat GPM di seantero Maluku, pasalnya tanggal ini ditetapkan dan diperingati setiap tahunnya sebagai hari lahirnya Gereja Protestan di bumi raja -raja itu. Dalam berbagai nuansa, 6 September selalu disyukuri seluruh jemaat termasuk mereka di Jemaat GPM Watui.
Malam itu (5 September 2019 ; 21.00 WIT) Tim Pikom AMGM Dapatra tiba di negeri Watui setelah hampir 3 jam melalui perjalanan malam menantang arus Sungai Tala yang meluap deras sebahu orang dewasa. Kampung tampak sunyi, lalu kami disambut hangat Bapak Notje Lesiela -Wakil KMJ Watui. Tiga orang mama dengan sigapnya menyajikan teh hangat dan makan malam nikmat bagi kami yang kelelahan. “maklum jua kk, kampung sunyi, banyak yang di kampung bawah. Ibu Pdt juga sedang cuti, beliau baru melahirkan jadi sebaiknya tinggal di bawah dulu. Tapi besok tetap ibadah” – Pak No mencoba menjelaskan keberadaan Watui malam itu. Malam pun berlanjut dengan cerita serunya Tim Pikom menantang arus Tala menuju jemaat itu.
6 September, pagi itu kabut masih menutupi negeri, seperti biasa kami langsung menuju sungai Wailau untuk mandi dan bersiap mengikuti gereja. Penasaran kami lahir tentang 6 September dalam kesunyian negeri di tengah hutan itu. Lonceng dua berbunyi, umat mulai berdatangan menuju Gedung Gereja Sion.
Pukul 09.00 WIT, lonceng gereja berbunyi, umat berdiri dalam hadirat Tuhan. Kami sengaja masuk tepat di saat itu agar dapat melihat umat yang mengakui Kasih Tuhan dan tak melewatkan persekutuan bersama di tanggal sakral itu. Lima belas orang ada di situ. Ya, empat orang majelis jemaat dan sisanya anggota jemaat. Ibadah yang khusuh dalam kesederhanaan yang jujur. Mereka meninggalkan seluruh pekerjaannya lalu bersatu dalam pujian bagi Tuhannya. Saya terharu karena mereka tetap setia dan bersyukur sekalipun mereka terbatas dalam jumlah.
Kedatangan kami kali ini memang hanya diketahui PHMJ tanpa diinformasikan kepada seluruh umat. Hal ini menjadi alasan mengapa negeri ini sunyi tak seperti kedatangan kami yang sebelumnya. Suitnya akses menuju negeri ini menyebabkan banyak anak negeri harus berjuang mendapatkan layanan pendidikan di desa tetangga yang relatif jauh jaraknya. Kondisi ini memaksa para orang tua turun dan mendapingi anak – anaknya yang kebanyakan masih di bangku SD dan SMP. Tak ada jaringan jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor, dilengkapi cuaca yang tak menentu memaksa mereka harus bertahan di negeri tetangga bila tak ada kebutuhan yang mendesak untuk kembali ke negeri itu. Kondisi yang sangat dapat dimaklumi, dan kami tak ingin kedatangan ini memaksa mereka datang melewati rimba yang luas dengan arus Tala yang sedang bergejolak hanya untuk melayani kami. “Biarlah terjadi secara alami dan kami melihat anda yang bersukacita dalam Tuhan atas hari – hari yang Ia berikan, termasuk hari ini. karena kami bersukacita dan bersyukur kepada Tuhan setiap kali mengingat negeri ini” – penggalan kalimat saya saat diminta memberikan sedikit refleksi di gereja kecil itu.
Selain menikmati sukacita peringatan ulang tahun GPM bersama jemaat Watui, kedatangan kami saat itu untuk melakukan studi tentang sejumlah permasalahan perkembangan jemaat yang akan kami bawa dalam gumulan bersama sejumlah pihak yang dapat berkontribusi bagi perkembangan umat Tuhan itu. Dalam diskusi bersama warga jemaat, terungkap pula sejumlah harapan seperti, perhatian pemerintah tentang akses menuju Watui, tentang kesejahteraan dalam dinamika jemaat Pegunungan yang terisolasi.
Tim Pikom AMGPM Dapatra hingga saat ini masih terus melakukan gerakan advokasi terhadap jemaat yang pernah melewati sejarah kelam dan merasakan pemulihan Tuhan ini. Tim Pikom juga terlibat aktif dalam proses ketersediaan air bersih dan pembangunan pastori yang tengah berlangsung hingga saat ini.